Saya ingin membuka artikel kontroversial ini dengan sebuah opini bahwa sifat oportunis ternyata sudah sangat mendarah daging di masyarakat Indonesia. Sebuah contoh kecil yang dengan tepat menggambarkan hal ini adalah fenomena tukang parkir yang merajalela di mana-mana. Ketika melihat ada tempat usaha yang didatangi banyak pengunjung yang memakai kendaraan bermotor, orang Indonesia akan langsung melihat hal itu sebagai peluang untuk menarik uang parkir. Padahal belum tentu si pemilik usaha menghendaki menarik uang parkir. Seringkali ‘preman parkir’ yang justru seenaknya sendiri, asal menarik uang parkir padahal belum ada izin dari manapun. Mereka ingin mengeruk keuntungan sendiri tanpa peduli apakah hal itu membawa masalah buat orang lain. Di kota saya pernah terjadi perkelahian antara 2 kubu preman parkir yang memperebutkan lahan parkir di sebuah minimarket yang baru saja berdiri. Fenomena tukang parkir ini sudah segitu parahnya di kota saya, bahkan keberadaan tukang parkir seringkali menjadi ‘kunci keberhasilan’ sebuah tempat usaha. Di dekat rumah saya, ada sebuah minimarket bebas parkir yang jauh lebih ramai dibandingkan minimarket sekitarnya yang ada tukang parkirnya.
Saya kemudian melihat sifat oportunis yang sama pada orang-orang yang mengikuti ujian SSW. Tentu bukan sifat oportunis yang berhubungan dengan uang, melainkan dalam melihat peluang tanpa mempedulikan manfaat dan mudharatnya bagi orang lain. Bidang ujian dalam skema Specified Skilled Workers (SSW) yang diselenggarakan di Indonesia ada 5: caregiver (perawat lansia), pertanian, peternakan, restoran, dan pengolahan makanan dan minuman. Karena tidak ada persyaratan apapun untuk mengikuti ujian kecuali berkewarganegaraan Indonesia dan berusia minimal 18 tahun, maka tidak sedikit calon pekerja migran SSW yang mengikuti semua bidang ujian tersebut. Calon pekerja SSW memanfaatkan peluang itu untuk mengikuti semua ujian yang ada, sekalipun bukan bidang yang dikuasai. Mudahnya seperti ini: Si A mengikuti semua ujian yang tersedia, dia akan mencari kerja di bidang peternakan seandainya dia lulus ujian peternakan, atau dia nanti akan mencari kerja di bidang restoran seandainya dia lulus ujian restoran.
Saya tentu memahami bahwa ini merupakan usaha untuk memaksimalkan peluang yang ada, dan juga sebagai respon dari sulitnya perekonomian di Indonesia dan melihat besarnya peluang kerja di Jepang. Tapi saya juga melihat hal ini sebagai langkah oportunis demi kepentingan diri sendiri yang bisa jadi menyulitkan orang lain. Bahkan bisa jadi sifat oportunis ini nanti malah menyulitkan diri sendiri. Menyebutkan efek buruknya buat orang lain mungkin akan sulit diterima, jadi saya akan mulai dari efek buruknya ke diri sendiri:1. Tidak fokus. Karena ikut semua bidang ujian, belajarpun jadi tidak fokus. Energi yang seharusnya bisa difokuskan ke satu ujian jadi terpecah, hal itu tentu akan berpengaruh ke materi yang mampu diserap. Pada akhirnya, kita mungkin menggantungkan kelulusan pada faktor keberuntungan.2. Kesulitan di tempat kerja. Apabila kita lulus karena faktor keberuntungan, besar kemungkinan kita akan mengalami kesulitan di tempat kerja. Itu karena kita sebenarnya tidak benar-benar memahami pekerjaan yang sedang kita hadapi. Apalagi jika bidangnya butuh keahlian spesifik seperti caregiver, ketidaktahuan akan membuat kita tidak bisa merespon suatu masalah dengan cepat dan tepat.
Kemudian, seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, sifat oportunis ini berpotensi menimbulkan kesulitan pada orang lain, bahkan ini sedang terjadi saat ini:1. Sulitnya mendaftar ujian. Mengikuti semua ujian tanpa terkecuali mengecilkan peluang calon pekerja lain untuk mendapatkan kursi. Calon pekerja yang memang ingin fokus di suatu bidang jadi harus berebut kursi dengan calon pekerja oportunis yang hanya sekedar ingin ikut ujian untuk memperbesar peluang yang ada. Hal ini sedang terjadi saat ini, kuota ujian SSW ternyata tidak sebanding dengan besarnya jumlah peminat. Terkadang kuota yang tersedia bisa langsung ludes hanya dalam 5 menit sejak pendaftaran dibuka.2. Menurunkan kepercayaan terhadap orang Indonesia secara umum. Ikut ujian tanpa persiapan yang matang tentu akan berpengaruh terhadap persentase kelulusan, bukan hanya diri sendiri tapi juga persentase secara keseluruhan. Hal ini sedang terjadi di bidang restoran dan pengolahan makanan, persentase kelulusan calon pekerja asal Indonesia hanya sekitar 60%. Bukan tidak mungkin hal ini akan menurunkan kepercayaan pihak recruiter kepada orang Indonesia secara umum karena dianggap kurang berkompeten.
Ini mungkin opini yang sedikit kontroversial karena pasti banyak pihak yang keberatan. Tapi, saya kembalikan lagi pada hak masing-masing individu yang bebas mau ikut ujian mana saja. Namun, saran saya ada baiknya kita lebih memfokuskan energi dan pikiran kita pada satu hal. Perilaku oportunis seperti ini mungkin akan cepat mengantarkan kita ke Jepang, namun bisa berangkat kerja ke Jepang tentu tidak sama dengan bisa bekerja dengan baik di Jepang. Karena sudah banyak kasus dimana banyak yang bersedia kerja di bidang apa saja asal bisa cepat berangkat ke Jepang, tapi pada akhirnya tidak mampu melakukan pekerjaannya dengan baik, dan jalan terakhir yang diambil adalah melarikan diri dari tempat kerja. Jadi, daripada menghabiskan waktu untuk mencari cara tercepat berangkat ke Jepang, ada baiknya kita menghabiskan waktu untuk memperbaiki kemampuan diri. Jika memang sudah layak, kita pasti akan berangkat kok.